TIMES SOLO, SURAKARTA – Sebagai negara kepulauan yang kaya sumber daya alam, Bangsa Indonesia sering disebut sebagai paru-parunya dunia dan pusat keanekaragaman hayati. Hal tersebut sangat penting guna menjaga kesimbangan iklim global. Lebih dari seratus juta hektare hutan hujan tropis menjadikan negara kita salah satu kawasan hutan terbesar di dunia setelah Amazon (Brasil) dan Kongo.
Namun sungguh ironi ketika kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah justru berubah menjadi musibah dan ancaman akibat perilaku manusia dan lemahnya penegakan hukum. Banyak di antaranya adalah akibat langsung dari tindakan yang melanggar aturan lingkungan dan eksploitasi berlebihan tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung ekosistem.
Bencana yang dihadapi negeri bukanlah fenomena alam murni namun konsekuensi dari ulah manusia yang lalai menjaga keseimbangan bumi. Kerusakan hutan telah menjadi penyebab utama meningkatnya risiko banjir dan longsor.
Penebangan liar dan alih fungsi lahan secara besar-besaran meninggalkan tanah gundul tanpa akar yang mampu menahan air. Milyaran rupiah kerugian materi dan nyawa manusia melayang hanya karena keserakahan dan kurangnya kesadaran ekologis.
Belum lagi banyak bermunculnya destinasi wisata yang mengatasnamakan pembangunan dan pemerataan kesejateraan berdiri tanpa memikirkan kelestarian alam. Destinasi wisata alam bukannya memberikan nilai kebaikan justru menjadi petaka bagi warga. Konsep ekowisata yang harusnya terjaga terabaikan dan yang ada hanya slogan semata.
Semua ini pada dasarnya menunjukkan bahwa bencana bukan semata-mata takdir Tuhan. Kita turut menciptakan kehancuran yang kini kita tangisi. Sudah waktunya berhenti menyalahkan alam dan mulai bercermin dari realita yang ada. Menjaga lingkungan bukan hanya tugas pemerintah semata tetapi tanggung jawab bersama seluruh warga.
Dari perspektif hukum lingkungan, hal tersebut menandakan adanya kegagalan dalam pelaksanaan mandat konstitusi dan undang-undang. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini adalah hak fundamental yang seharusnya dilindungi oleh negara sebagai penyelenggara pemerintahan.
Hal ini ditegaskan lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang mengatur berbagai instrumen hukum untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan lingkungan, termasuk perizinan, instrumen ekonomi, sanksi administratif, perdata, dan pidana.
Banyak bencana ekologis terjadi karena lemahnya pengawasan, kurangnya akuntabilitas, serta tingginya kepentingan ekonomi yang mengalahkan kepentingan ekologis. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara regulasi dan implementasi yang menyebabkan hukuman terhadap pelanggar lingkungan tidak memberikan efek jera.
Jaga Alam, Jaga Kesimbangan
Alam sebagai karunia Sang Pencipta telah menyediakan segala yang kita butuhkan untuk bertahan hidup. Namun seiring berkembangnya peradaban dan meningkatnya kebutuhan ekonomi, manusia semakin jauh dari prinsip keseimbangan ekologis.
Alam dipandang bukan lagi sebagai sahabat yang harus dirawat melainkan sebagai objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Akibatnya keseimbangan yang telah terbangun selama jutaan tahun kini berada di ujung tanduk.
Ketika alam dieksploitasi secara berlebihan ia tidak tinggal diam, mereka memberikan reaksi dengan banjir, tanah longsor hingga pemanasan global sebagai bentuk protes atas keserakahan manusia.
Semua bencana itu bukan sekadar fenomena fisik saja melainkan peringatan keras bahwa keseimbangan telah terganggu. Kita sering menyalahkan alam sebagai penyebab bencana padahal manusialah yang pertama kali melanggar aturan alam.
Menjaga alam bukan hanya persoalan moral semata tetapi juga kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Alam tidak membutuhkan manusia untuk tetap ada namun manusialah yang membtuhkan alam.
Kesadaran ini harus menjadi fondasi dalam setiap kebijakan pembangunan tanpa mengorbankan kelestarian alam. Keseimbangan harus menjadi prinsip utama apa yang diambil dari alam harus dikembalikan melalui perawatan dan pemulihan.
Oleh sebab itu kesadaran ekologis harus ditanam sejak dini mungkin. Di bangku sekolah anak-anak perlu belajar mencintai alam bukan melalui teori saja, tetapi melalui pengalaman nyat bagaimana memahami bahwa bumi adalah rumah bersama. Tanpa generasi yang peduli lingkungan maka masa depan hanya akan berisi penyesalan.
Menjaga alam berarti menjaga kehidupan seutuhnya sebagai fitrah Tuhan. Menjaga keseimbangan berarti memastikan bumi tetap layak dihuni. Setiap tindakan kecil yang kita lakukan hari ini akan menentukan kualitas hidup generasi berikutnya.
Jangan menunggu sampai alam benar-benar runtuh dan kita baru sadar bahwa yang rusak tidak akan mudah dipulihkan. Sudah saatnya kita berbenah guna menjaga alam untuk kesimbangan kehidupan, sehingga tidak ada lagi bencana di nantinya. (*)
***
*) Oleh : Dr. Hadis Turmudi, M.H., Dosen STMIK AMIKOM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |