TIMES SOLO, SURAKARTA – Beberapa daerah di Indonesia mulai mengalami perubahan yang mengkhawatirkan. Suara gedok tenun terdengar semakin lirih, kilau benang emas pada kain songket tak lagi secerah dahulu, dan aroma lilin malam perlahan memudar dari ruang-ruang para pengrajin. Bukan karena bahan baku menipis, melainkan karena semakin sedikit generasi penerus yang mampu melanjutkan tradisi ini.
Jika dahulu untuk menghasilkan satu lembar kain tenun atau batik tulis membutuhkan waktu berbulan-bulan, kini motif tersebut dapat dicetak dengan mesin dalam hitungan menit untuk memproduksi ratusan kain tradisional.
Lalu, apakah kain-kain tersebut tetap menjadi identitas bangsa, bukan hanya sekadar motif tanpa makna?. Kita mungkin senang menemukan batik atau tenun seharga Rp60.000-an pada marketplace, tetapi apakah itu potongan harga atau justru pemotong kebudayaan kita?
Belanja melalui marketplace kini menjadi tren dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), mayoritas dari 8.000 responden mengaku rutin mengakses aplikasi belanja online seperti Shopee, TikTok Shop, dan Tokopedia.
Sebanyak 30,4% berbelanja beberapa kali dalam sebulan dan sebagian lainnya melakukannya mingguan bahkan harian. Kebiasaan ini membuat marketplace perlahan menggeser fungsi supermarket dan pasar tradisional.
Kemudahan teknologi yang ditawarkan membuat segala kebutuhan dapat dipesan kapan pun dan di mana pun seperti pakaian, perabotan rumah tangga, produk kesehatan, hingga kecantikan. Diskon yang terus bermunculan semakin menambah daya tarik masyarakat.
Pakaian menjadi salah satu kategori yang paling diminati, sebab pengguna merasa lebih mudah menemukan model yang sesuai selera tanpa harus berpindah toko. Bahkan kain tenun, songket, dan batik pun kini mudah dijumpai secara online, sehingga masyarakat dari berbagai daerah dapat dengan mudah mengenakan pakaian tradisional Nusantara.
Namun demikian, ketika melihat langsung proses pembuatan kain tradisional, kita tersadar bahwa harga murah tidak pernah mencerminkan jerih payah para pengrajin. Proses menenun dilakukan dengan menyusun helai demi helai benang secara manual.
Pembuatan kain songket membutuhkan ketelitian luar biasa untuk memasukkan benang emas pada setiap serat. Bahkan proses pembuatan batik tulis menuntut kesabaran dalam menghadapi panasnya lilin malam serta proses pewarnaan berulang.
Semua ini memakan waktu yang panjang. Namun, jika teknologi memungkinkan kain tradisional dicetak dengan mesin dalam jumlah besar, apakah nilai budayanya masih dapat dipertahankan?
Di tengah derasnya arus teknologi, Pancasila dibutuhkan sebagai petunjuk untuk menuntun penggunaan teknologi yang benar tanpa meninggalkan akar budaya. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat menjadi titik awal refleksi.
Ketika karya asli yang dibuat menghabiskan waktu berbulan-bulan masih harus bersaing dengan mesin yang dapat mencetak dan menghasilkan harga murah, menjadikan nilai kemanusiaan menjadi terancam. Mereka menjadi kehilangan kesempatan bekerja dan kesejaterahan hidup.
Oleh karena itu, diperlukan ruang yang dapat memberikan perlindungan dan keadilan seperti melalui pemberian label handmade heritage pada kain hasil karya pengrajin, memberikan potongan pajak, pengurangan bea pameran untuk UMKM tradisional non printing, serta penyelenggaraan pameran khusus kain tradisional handmade. Melalui langkah-langkah ini dapat membantu mengangkat martabat pengrajin kain tradisional sehingga tidak tereksploitasi oleh arus teknologi.
Selain menyangkut aspek keadilan, kondisi ini juga memicu disintegrasi bangsa yang berkaitan dengan sila Persatuan Indonesia. Setiap daerah memiliki pakem pada tiap motif pakaian tradisionalnya. Produksi massal memudahkan siapapun dapat mengenakannya tanpa mengetahui makna di balik filosofi. Bahkan pada motif yang semestinya hanya boleh dikenakan oleh orang-orang dan situasi tertentu.
Selain itu, kemudahan mencetak motif dapat menyebabkan perubahan filosofi hanya karena keinginan untuk melakukan inovasi atau ketidakakuratan pada mesin pencetak. Ketika masyarakat hanya mementingkan harga murah, kesadaran budaya menjadi melemah. Akibatnya daerah asal kain tradisional dapat merasa tidak dihormati jika filosofi dan aturan penggunaan dilanggar sehingga dapat memicu disintegrasi.
Kondisi ini menunjukkan peran pengrajin asli menjadi sangat penting karena merekalah pemegang ilmu turun temurun yang tidak dapat tergantikan oleh mesin sekalipun. Teknologi tetap dapat digunakan, tetapi hanya sebagai sarana pelestarian, dokumentasi, dan pemasaran bukan pengganti proses pembuatannya.
Dengan demikian, teknologi bukanlah musuh bagi budaya. Ancaman justru muncul ketika kemajuan dibiarkan berjalan tanpa pedoman nilai-nilai Pancasila. Jika teknologi mesin terus mencetak motif tradisional tanpa memahami proses pembuatan dan filosofi makna di baliknya, maka akan tiba saat ketika kain asli Indonesia hanya tinggal cerita dalam buku sejarah.
Kini saatnya kita memilih untuk terus mengikuti arus belanja online dengan harga murah atau justru ikut menjaga kelestarian budaya yang diwariskan secara turun-temurun?
***
*) Oleh : Alya Dhaifana Royya, Mahasiswa Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |